Rabu, 30 Maret 2011

Sungai dalam laut

Maha Suci Allah yang Maha Menciptakan Sungai dalam Laut
“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. ” (QS Fushshilat : 53)
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S Al Furqan:53)

Subhanallah! :

(QS Fushshilat : 53) = (Q.S Al Furqan:53)

Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton rancangan TV `Discovery’ pasti kenal Mr.Jacques Yves Costeau , ia seorang ahli oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke perbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat filem dokumentari tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton di seluruh dunia.
Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.
Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawapan yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.
Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor Muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi “Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. .”Artinya: “Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus.” Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.
Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi “Yakhruju minhuma lu’lu`u wal marjaan” ertinya “Keluar dari keduanya mutiara dan marjan.”
Padahal di muara sungai tidakditemukan mutiara.
Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur’an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur’an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera. Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam
akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahawa Al Qur’an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar.

Maha Suci Allah yang Maha Menciptakan
Sungai dalam Laut

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan) ; yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (Q.S Al Furqan:53)


Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor Muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan ( surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez . Ayat itu berbunyi “Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laa yabghiyaan.. .”Artinya: “Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus.” Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.
Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diertikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air masin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi “Yakhruju minhuma lu’lu`u wal marjaan” ertinya “Keluar dari keduanya mutiara dan marjan.” Padahal di muara sungai tidak
ditemukan mutiara.

Allahu Akbar…! Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung.
( Nb: Menjadi Mualaf atau tidaknya Mr.Costeau …Wallahu a’lam )
Shadaqallahu Al `Azhim.Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air.” Bila seorang bertanya, “Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?” Rasulullah s.a.w. bersabda, “Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran.”
Jika anda seorang penyelam, maka anda harus mengunjungi Cenote Angelita, Mexico. Disana ada sebuah gua. Jika anda menyelam sampai kedalaman 30 meter, airnya air segar (tawar), namun jika anda menyelam sampai kedalaman lebih dari 60 meter, airnya menjadi air asin, lalu anda dapat melihat sebuah “sungai” di dasarnya, lengkap dengan pohon dan daun daunan.
Setengah pengkaji mengatakan, itu bukanlah sungai biasa, itu adalah lapisan hidrogen sulfida, nampak seperti sungai… luar biasa bukan? Lihatlah betapa hebatnya ciptaan Allah SWT.

Nasi Gandul Khas Pati

Nasi Gandul Khas Pati

Kota-kota di pesisir utara Jawa Tengah hampir semua punya produk khas yang lalu menjadi semacam trade mark kota. Sebutlah Kudus dengan soto, jenang dan rokok Djarumnya, Brebes dengan telur asinnya, Semarang dengan lumpia dan wingko babatnya, Pekalongan dengan batiknya, atau Jepara dengan mebel ukirnya.
Kalau Pati? Adakah sesuatu yang istimewa yang datangnya dari Pati? "Apa ya? Rasanya tidak ada tuh. Oh ya kyai, para kyai langitan banyak dari Pati haha...." jawab seorang teman yang berasal dari Jawa Tengah. Hanya kyaikah? Bagaiamana dalam soal kuliner?
Di seberang pintu utama Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan banyak terdapat warung tenda yang menjajakan aneka masakan nusantara. Warung-warung itu buka mulai pukul 17.00 sampai larut malam. Ada Gudeg Jogya, Ayam Taliwang Lombok, Sate Padang, Sate Madura, Mie Jawa, Soto Solo, Bakso Gunung Kidul, aneka masakan Manado, Cina sampai roti canek India. Kalau Anda punya apresiasi khusus terhadap khazanah kuliner nusantara, lokasi ini mungkin layak masuk dalam daftar. Tempat ini selalu ramai, apalagi pada malam-malam di akhir pekan dan menjelang hari libur nasional. Bagusnya lagi, di sini tidak ada pengamen, lahan parkirnya juga luas.
Nah, ini dia! Di situ ada pula Nasi Gandul Khas Pati. Warung tenda berukuran kurang lebih 2x2 meter itu milik Ibu Hartati. Hanya ada dua meja di dalamnya. Sudah dua tahun Hartati jualan nasi gandul. Sebelumnya ia punya kios rokok kecil di kawasan itu.
"Berdagang rokok dilarang, hanya boleh dagang makanan. Saya memutuskan untuk jualan nasi gandul saja. Kebetulan saya dari Pati dan tahu cara bikin nasi gandul. Sebetulnya enakan jualkan rokok, tidak capek," kata Hartati.
Nama nasi gandul asing buat saya. Itulah mendorong saya untuk mencobanya. Ternyata wuueenak juga! Rasa rempah dalam kuahnya sangat kuat.
Secara rasa, nasi gandul agak mirip soto betawi. Seperti pada soto betawi, nasi gandul juga menggunakan kuah bersantan dan berisi aneka olahan daging sapi.
Letak keunikannya ada pada cara menyajikan dan menyatapnya. Nasi disajikan dalam piring yang dialasi daun pisang. Nasi tidak menyentuh piring. Dalam mangkuk terpisah disajikan kuah coklat yang kaya rempah dan berisi daging sapi. Anda bisa pilih sesuai selera: mau empal, paru, hati, kikil, atau kaki sapi. Ibu Hartati juga menyediakan tempe mendoan. Nasi lalu dibanjiri kuah.
Cara menyatapnya pun unik. Makanan berkuah paling nyaman tentu disantap dengan menggunakan sendok dan garpu. Tetapi Ibu Hartati tidak menyediakan sendok dan garpu. Saya bingung, lalu meminta sendok. Belakangan saya tahu, setelah memperhatikan orang di meja sebelah, bahwa menyantap nasi gandul tidak perlu sendok garpu, cukup pakai daun pisang.
Pantas saja di pinggir piring saya ada daun pisang yang dipotong memanjang dan dilipat dua. Dengan menggunakan daun pisang itu, nasi yang sudah basah kena kuah tinggal diciduk. Bagi pemula, awalnya mungkin agak ribet tetapi kalau sudah tahu caranya, nyaman juga dan rasa masakannya jadi lebih mantap.
"Justru jadi lebih enaknya karena makannya pakai daun pisang itu, Mas," kata Hartati.
***
DI Jakarta warung nasi gandul ada di beberapa lokasi, dari kelas kaki lima sampai kelas mal. Jadi dalam peta kuliner, Pati sesungguhnya tidak kalah dengan kota-kota pesisir utara Jawa lainnya.
Namun diakui, nasi gandul belum begitu popular. "Agak susah dagang nasi gandul di sini," kata Amin pedagang nasi gandul di kaki lima Jalan Prof DR Satrio (depan Sekolah Pelita Hati), Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. "Belum banyak orang yang tahu nasi gandul. Tapi kalau sudah tahu sih pada balik lagi, dan akhirnya jadi langganan," lanjut Amin.
Warung nasi gandul milik Bambang S yang masih keluarga Amin itu sudah ada sejak tahun 1992. Omsetnya semalam (dari pukul 18.00 sampai tengah malam) sekitar Rp 500.000 sampai Rp 600.000. Harga per porsi murah saja, hanya Rp 6.000.
Mengapa disebut nasi gandul? Ibu Hartati yang mengaku asli Pati menjelaskan, "Kalo aslinya di Pati, ada beberapa bungkusan nasi yang digandulkan di dalam warung. Itu sebagai hiasan saja. Makanya disebut nasi gandul."
Namun Amin mempunyai penjelasan lain. "Disebut nasi gandul karena disajikan dalam piring yang dialasi daun pisang. Jadi nasinya gandul (mengambang) gitu, tidak nyentuh piring. Yang bilang ada nasi digantung atau digondul-gandul, dia itu pasti bukan orang Pati asli," kata Amin.
Oping, anak Bambang S, yang melanjutkan usaha ayahnya mengatakan, "Memang ada beberapa versi tentang asal-asal sebutan nasi gandul itu. Yang pasti itu nama yang diberi para pelanggan." Menurut Oping, awalnya ada seorang pedagang nasi yang memikul dagangannya keliling kampung di Pati. Pedagang itu berdagang malam hari dengan bantuan lampu petromaks. "Mungkin juga karena pikulannya gondal-gandul saat si pedagang berjalan, pelanggan lalu memberi dia nama pedagang nasi gandul," kata Oping.
Nah lho, mana yang benar. Tapi, "Apalah arti sebuah nama," kata William Shakespeare. Lagi pula, untuk urusan beginian yang penting enak di lidah bukan?

Selasa, 29 Maret 2011

kota paranormal


CUKUP beralasan bila Pati dijuluki kota paranormal. Kota yang terletak 76 kilometer timur Semarang Jawa Tengah ini, memiliki lebih dari 1.000 personel, yang berprofesi sebagai dukun, paranormal atau yang lebih halus disebut alternatif. Dari jumlah tersebut, 100 di antaranya benar-benar telah teruji kekuatan daya linuwih-nya. Bahkan lebih dari 10 di antara mereka yang cukup dikenal masyarakat Indonesia. Malah ratusan warga Australia, Filipina, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi, mulai tertarik dan menjadi pelanggan paranormal kota ini.

Untuk lebih mengukuhkan Pati sebagai kota paranormal, salah seorang "dedengkotnya" yang lebih dikenal dengan nama Bos Edy, dipilih sebagai Ketua Umum Paguyuban Alternatif Indonesia (Pati) yang beranggotakan 3.000 paranormal. Semula disebut Persatuan Paranormal Indonesia (PPI). "Kesannya kok kurang sreg, kurang pas dan agak negatif. Sehingga kami sepakat mengubah nama itu," tutur Bos Edy

Sedang pengukuhan lainnya dapat dilihat dengan ditemukannya 24 tokoh masyarakat setempat yang dikenal memiliki daya linuwih. Lengkap dengan riwayat hidup dan makamnya. "Itu yang akan kami bukukan dan sebagai salah satu unsur pelengkap dari buku tebal tentang sejarah, perkembangan, dan budaya supranaturalnya Wong Pati," ujar Imam Suroso alias Mbah Roso, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Guru Pati, sekaligus guru besar padepokan Bumi Walisanga.

Kabupaten Pati yang berpenduduk lebih dari 1,2 juta jiwa dan tersebar di 405 desa, memiliki puluhan tempat atau petilasan yang berkaitan erat dengan sejarah kerajaan dan legenda masyarakat. "Salah satu di antaranya yang dijadikan sarana untuk mengasah ilmu daya linuwihnya adalah Pintu Mojopahit di Desa Rondole, sekitar 2 kilometer baratlaut Kota Pati. Sejarah Pati juga dikenal lewat Adipati Pesantenan (Adipati Pati I-III), disusul Adipati Pragola I-III, baru kemudian diperintah seorang bupati" tambah Mbah Roso.

Ada satu lagi ciri khas Pati sebagai kota supranatural: Kompleks rumah padepokan Bumi Walisongo yang terletak di Jalan Diponegoro Pati nomor 72. Pagar keliling terbuat dari bahan sejenis monel dan jeruji besinya bermotif keris "luk 7" sehingga tampak kontras dengan rumah di sekitarnya.

Kota yang akrab dijuluki kota pensiunan ini akan dijadikan kota tujuan wisata spiritual yang pertama di Indonesia dengan mengedepankan makam dan petilasan orang terkenal, orang sakti, orang hebat atau orang-orang yang memiliki daya supranatural semasa Kerajaan Mojopahit dan Mataram.

PERKEMBANGAN pesat personil supranatural di kota Pati baru tampak terlihat sekitar lima tahun terakhir setelah "keilmuan" mereka mulai diperkenalkan kepada masyarakat umum lewat media cetak, elektronik, artis, kalangan selebriti, pejabat dan tokoh masyarakat.

Juga setelah obat-obatan mulai mahal, tarif dokter dan rumah sakit meningkat, serta perubahan sikap serta perilaku masyarakat, yang cenderung mulai mempercayai pengobatan alternatif. Suatu ketika Bos Edy pernah mengungkapkan secara "guyon" kepada Kompas, kehadirannya beserta rekan anggota PPI/Pati adalah untuk menyembuhkan orang bingung. "Obat mujarabnya cuma sugesti. Jadi saya ini sebenarnya jual sugesti bagi orang bingung. Namun orang yang bingung dan mencari alternatif penyembuhan ini umumnya berkantung tebal," tuturnya jujur.

Meski mengaku hanya menjual sugesti, tetapi para pelakunya harus senantiasa menimba, mencari, menciptakan, mengasah, mengembangkan, memperdalam dan lebih menekuni ilmunya, antara lain secara rutin berpuasa, mengunjungi makam Wali Sanga dan tempat peninggalan orang-orang yang dikenal punya daya lebih.

Bahkan Mbah Roso yang baru berumur 35 tahun ini juga memperdalam ilmu pengetahuannya di salah satu universitas hingga selesai S-1, dan menunaikan ibadah haji. Paranormal bertubuh sedang yang sehari-harinya juga dikenal sebagai anggota Polisi Wilayah Pati ini juga menyandang gelar haji.

Menurut bapak dari seorang putri ini, menambah ilmu melalui universitas dan ilmu agama merupakan upaya lebih memperjelas jati dirinya. "Bahwa ilmu supranatural yang saya peroleh sejak kelas IV Sekolah Dasar ini bukan sekadar ilmu yang sarat muatan keris, kembang, kemenyan, dan misteri seperti pendapat masyarakat umumnya. Saya menjalani "laku" cukup berat, lalu saya padukan dengan ilmu pengetahuan dan agama dan ini akan selalu berkembang terus. Saya juga selalu menjaga penampilan, agar tidak terkesan sebagai dukun, yang biasa divisualkan dalam pakaian yang serba hitam dan rambut panjang," tegas Imam Suroso.

Bukan hanya itu saja, dalam menjalankan praktik sehari-hari, suami Jeng Asih, paranormal yang dijuluki Ratu Susuk Indonesia, ini juga menerapkan pengobatan secara medis. Artinya ramuannya dites lebih dahulu di laboratorium dan diakui Departemen Kesehatan.

Ketika Kompas menyaksikan dari dekat Padepokan Bumi Walisongo, terlihat puluhan karyawan berada di balik meja komputer. Ruang kantornya nyaman dan ada tempat produksi berbagai jenis obat serta ramuan. "Jumlah seluruh karyawan 28, termasuk 6 satpam dan 2 sopir. Setiap minggu kami menerima dan membalas sekitar 100 surat dari berbagai kota di Indonesia dan 7 negara lain yang dikirim via Internet maupun kantor pos," ujar Heru Christiyono Amari yang dipercaya sebagai pimpinan karyawan padepokan Bumi Walisongo.

MELIHAT padepokan milik Mbah Roso ini, muncullah pertanyaan dari mana ia memperoleh dana untuk membiayai semua itu? Paranormal yang bergelar Sang Pangeran Pengasih ini tidak mau membeberkan secara terbuka. Tetapi, harga berbagai jenis produk padepokan Bumi Walisongo yang diiklankan di puluhan media cetak dan elektronik bercerita banyak. Harganya antara Rp 300.000 - Rp 5 juta. Belum termasuk biaya konsultasi yang tidak ada tarif resminya.

Ia tidak hanya membuka praktik bersama istrinya di Pati setiap hari Selasa - Rabu, tetapi juga di Hotel Sentral, Jalan Pramuka, Jakarta setiap Sabtu dan Minggu. Termasuk mengasuh rubrik konsultasi problem keluarga/jodoh/seks di delapan harian, majalah, dan tabloid. "Saya juga tidak tahu secara pasti, tetapi yang saya kelola setiap bulannya rata-rata di atas Rp 100 juta," tutur Heru.

Dengan penghasilan Rp 100 juta dari profesi paranormal, ditambah gaji tetap sebagai anggota Polri, lalu penghasilan sampingan dari usaha burung walet, wartel dan sebagainya, penghasilan Mbah Roso mengungguli penghasilan dokter setempat, meskipun ini bukan gambaran umum paranormal melainkan hanya yang sudah terkenal.

Prabu Angling Dharma Ada di Pati


1296592991444397253Siapa yang tak tahu sosok Angling Dharma? Beliau adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Apalagi sejak film Angling Dharma ditayangkan di salah satu televisi swasta, Indosiar. Masyarakat luas menjadi lebih kenal beliau sebagai sosok raja di kerajaan Mlowopati. Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Beliau bersama patihnya, Batik Madrim mampu menjadikan Mlowopati menjadi besar dengan memenangi beberapa peperangan penting.

Selain itu beliau  juga dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana juga tersohor bisa menundukan bangsa jin.Tersohor juga dengan berbagai macam benda pusaka peninggalanya seperti : Keris Polang Geni, Panah Pasopati, dan lain sebagainya.

Akan tetapi siapa yang tahu bahwa makam dan beberapa peninggalan penting dari Prabu Angling Dharmo berada di kota Pati Jawa Tengah, tepatnya di desa Mlawat (Mlowopati) kecamatan Sukolilo. Kalau dari desa saya, kira-kira berjarak 15 Km-an. Selain itu, di sana juga terdapat makam sang Patih, Batik Madrim. Terdapat juga gua yang sangat dalam yaitu gua Eyang Pikulun Naga Raja Guru Prabu Angling Darma juga tempat pemandian yang sampai sekarang masih di sakralkan oleh penduduk setempat. Dan desa Mlawat sampai sekarang masih menjadi salah satu objek wisata sebagai peninggalan bersejarah yang kerap dikunjungi wisatawan.

Tapi sungguh perihal ini, sepertinya sangat perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan kemudian menjadi bagian kekayaan sejarah Indonesia karena semua tertuliskan dan didukung data-data yang valid. Selama ini tentang keberadaan makam Prabu Angling Dharma masih simpang siur karena hanya bersifat sejarah dari mulut ke mulut. Mungkin jika Anda adalah warga Bojonegoro akan menolak dengan keras dan bersikukuh mengatakan bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di Bojonegoro. Jika tidak demikian, sebutan “Laskar Angling Dharma” sebagai warga Bojonegoro mungkin akan ditarik kembali.

Dari beberapa literatur yang saya baca, memang Prabu Angling Dharma pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri. Dianggap melanggar janji saat Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Dan runtuhlahlah iman sang Prabu. Kemudian beliau dikutuk kedua kalinya oleh seorang putri raksasa yang cantik dan pemakan manusia sebagai burung Belibis. Dan pada perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.

Dan hal terpenting yang perlu dicatat adalah sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta istri dan putranya karena saat itu Mlowopati diserang Raja Raksana Pancadnyono. Dan atas kembalinya sang Raja Mlowopati, dimenangilah peperangan itu walaupun Batik Madrim dan pasukanya sempat kwalahan.
Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang perihal letak makam Prabu Angling Dharma.

Selain di Bojonegro, tak sedikit yang menganggap bahwa makam Angling Dharma terdapat di tanah Sunda beserta kerajaanya. Dan lebih menarik lagi oleh beberapa orang juga disebutkan Angling Dharma pernah di Temanggung (lereng Gunung Sumbing), tepatnya di daerah Kedu, arah ke Parakan. 

Ah, sepertinya memang sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui kebenaran dari letak makam Prabu Angling Dharma beserta kerajaanya. Walaupun begitu, saya masih meyakini bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di desa Mlawat, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pat, Jateng. Selain memang di sana sudah menjadi tempat wisata yang bayak wisatawan berkunjung, di sana juga terdapat Sendang Nogorojo dan Sendang Nogogini (Nogogini adalah istri dari Naga Pertala, sahabat Angling Dharma).

Jika Anda suatu saat melewati Pati, cobalah bersinggah sebentar dan menengok makam di Sukolilo. Tentang kebenaranya, wallohua`lam. Semoga bermanfaat.

Bahasa Pati yang Unik : Ndang Gage Diwaca

Soal uniknya bahasa Jawa yang digunakan di Pati. Memang beda ya..? Sepertinya sih begitu.

Tak hanya ujaran sebetulnya tapi logat Pati pun berbeda. aku akan mudah membedakan mana orang yang berasal dari Pati, mana yang dari Semarang, atau Jawa Timur, dan seterusnya, hanya dari logatnya. Emang apa yang membedakannya..? Emmh, apa ya, aku sendiri susah menjelaskannya, entah pada tekanannya di suku kata terakhir entah pada pokoknya,,yang jelas beda !!

Kembali pada ujarannya yang unik, masih teringat dulu seorang teman pernah berkata padaku, “Ada 2 hal yang saya ingat dari Pati : tanahnya yang kering, nela bahasa Jawanya dan akhiran em/nem untuk menunjukkan kata ganti milik”. Orang Pati mana pernah bilang, “bukumu, omahmu, nggonmu, sepedamu..dst” pasti nyebutnya, “bukunem, omahém, nggonem, sepedaem..” Kenapa begitu ya.

Bagi orang Pati sendiri, kami memandang ada 2 ujaran khas yang diucapkan wong “Pati njekek”, yaitu “leh” dan “go”.. Apa artinya ? Menurutku si ga ada, hanya penekanan saja. Misalkan, “piye leh..ayo go ndang mangkat..” yang berarti “gimana si, ayolah segera berangkat..”

Apalagi yang lain ? Emmh, mungkin kata “tétér” yang berarti rusak. Ato kata “nda-ndeh” yang mungkin bisa diartikan apa-apa. Kata ini biasanya mengikuti “ga ana” yang jika digabung “ga ana nda-ndeh” akan berarti tidak ada apa-apa.

Jika di tempat lain mereka biasa berujar “jare” yang berarti “kata” maka orang Pati lebih familiar menyebutnya “hare”.
Jika mereka lebih sering menyebut sisir dengan kata “jungkas”, kadang kami lebih suka menyebutnya “jungkat”.

Apakah keunikan ujaran ini hanya milik orang Pati.. Tentu saja tidak. Aku juga masih takjub mendengar temanku yang dari Pekalongan mengucapkan kata “pa’é”. Kupikir tadinya berarti bapak/ayah. Namun ternyata berarti “arep” dalam bahasa Jawa umum atau “akan” dalam bahasa Indonesia. Kalau orang Pati si menyebutnya “ameh/ape”.

Betapa kaya dan beragamnya bahasa Jawa terjadi dalam kasus ini. Saat aku masih ngekos di jakarta ada beberapa teman yang dari Jawa. Meskipun kami sama-sama Jawa, namun ujaran kami untuk menyebut kata dingin agak berbeda. Temanku dari Solo menyebutnya “adem”, aku yang dari Pati menyebutnya “atis”, dan teman dari Wonosobo menyebutnya “anyes”. Jadi, saat Bogor dingin, pada saat yang sama, masing-masing akan berteriak adem !, atis !, anyes ! Hahaha, what a world !!

Untuk yang ingin bernostalgia dengan kata-kata uniknya Pati ini, silakan aja klik kamus di blogku
Hehehe, mari bernostalgia !